Jumat, 04 April 2008

tugas Franchise

TUGAS FRANCHISE

pendahuluan
Konsep bisnis waralaba (franchise) akhir-akhir ini telah menjadi salah satu trendsetter yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian IndonesiaEpidemi Tren Konsep Bisnis Waralaba Konsep bisnis waralaba (franchise) akhir-akhir ini telah menjadi salah satu trendsetter yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian Indonesia. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, animo masyarakat Indonesia terhadap munculnya peluang usaha waralaba sangat signifikan. Animo ini terefleksi pada dua cermin yakni : jumlah pembeli waralaba dan jumlah peluang usaha (business opportunity) yang terkonversi menjadi waralaba.Franchise sendiri berasal dari bahasa latin yakni francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha. Pengertian Franchising (Pewaralabaan) sendiri adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa (Informasi Waralaba, Direktorat Jenderal Perdagangan, September 2005). Secara sederhana, benang merah waralaba adalah penjualan paket usaha komprehensif dan siap pakai yang mencakup merek dagang, material dan pengolaan manajemen. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam franchising (pewaralabaan) terbagi atas 2 segmen yakni : pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee).Franchisor, yang juga umum disebut sebagai pewaralaba adalah badan usaha yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya. Franchisee, yang juga disebut terwaralaba, adalah badan usaha yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilki pemberi waralaba. Franchisor sudah harus siap dengan perlengkapan operasi bisnis dan kinerja manajemen yang baik, menjamin kelangsungan usaha dan distribusi bahan baku untuk jangka panjang, serta menyediakan kelengkapan usaha sampai ke detail yang terkecil. Franchisor juga sudah harus menyediakan perhitungan keuntungan yang didapat, neraca keuangan yang mencakup BEP (Break Event Point) dan ROI (Return On Investment). Franchisee hanya menyediakan tempat usaha dan modal sejumlah tertentu bergantung pada jenis waralaba yang akan dibeli. Franchisee mempunyai dua kewajiban finansial yakni membayar franchise fee dan royalti fee. Franchise fee adalah jumlah yang harus dibayar sebagai imbalan atas pemberian hak intelektual pemberi waralaba, yang dibayar untuk satu kali (one time fee) di awal pembelian waralaba. Royalti fee adalah jumlah uang yang dibayarkan secara periodik yang merupakan persentase dari omzet penjualan. Nilai franchisee fee dan royalti fee ini sangat bervariatif, bergantung pada jenis waralaba. Namun franchisee juga mempunyai kewajiban non-finansial yang sangat esensial yakni menjaga image produk waralaba.Masyarakat telah sangat mengenal brand McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Bread Talk, Starbucks atau Pizza Hut. Nama-nama merek dagan tersebut adalah merek dagang waralaba asing. Dalam pengoperasiannya mereka menjual master franchise. Master franchise ini berhak untuk mengelola sendiri atau menjual kembali kepada franchisee pada suatu teritori (cakupan area) tertentu, tergantung pada kesepakatan. Pertumbuhan bisnis waralaba yang cepat di Indonesia merupakan peran serta dari merek-merek waralaba lokal seperti Primagama, Alfamart, Martha Tilaar, Roti Buana, Edward Forrer, Bogasari Baking Center dan berbagai nama lainnya. Merek-merek local ini diarahkan pemerintah untuk bernaung di bawah AFI (Asosiasi Franchise Indonesia) yang merupakan asosiasi resmi yang diakui oleh pemerintah dalam bidang waralaba. Asosiasi ini merupakan anggota dari IFA (International Franchise Association) yang adalah organisasi franchise skala internasional. AFI didirikan pada tanggal 22 November 1991 dengan bantuan dari ILO (International Labour Organization) dan Pemerintah Indonesia. Pada Juni 2003, disponsori oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Sekarang Departemen Perdagangan), diselenggarakan pemilihan waralaba lokal terbaik yakni : Rumah makan Wong Solo (Kategori Restoran), Indomaret (Kategori Retail), ILP (kategori Pendidikan). Di lapangan, sistem waralaba di Indonesia diterapkan setidaknya menjadi 4 jenis yakni : waralaba dengan sistem business format, waralaba bagi keuntungan, waralaba kerjasama investasi dan waralaba merek dagang. Penerapan ini sangat dinamis, dimana penggunaannya sangat bergantung terutama pada jenis usaha dan area. Kriteria status usaha dapat berubah menjadi waralaba setidaknya harus memenuhi berbagai persyaratan khusus yakni unik, tidak mudah ditiru, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan tipe usaha sejenisnya sehingga konsumen akan selalu mencari produk atau jasa tersebut (repeated order). Mempunyai proven track record atau mempunyai konsep usaha yang telah terbukti berhasil, yang dapat dilihat dari neraca keuangan, citra perusahaan serta produk/jasa yang terjamin. Terwaralaba pun harus pula diuntungkan dengan adanya standarisasi dan pengoperasian yang jelas, yang dituangkan dalam kerangka kerja yang dikenal sebagai SOP (Standard Operational Procedure). SOP dapat dikatakan jiwa dari kehidupan waralaba. Tanpa SOP yang jelas, gamblang mudah dimengerti dan diaplikasikan, kesuksesan waralaba akan sulit tercapai. SOP akan memuat secara detail pedoman pengoperasian suatu usaha, mulai dari suplai bahan baku, manajerial, pelatihan SDM, keuangan, marketing dan promosi, sampai pada riset pengembangan usaha. Setiap detail akan dibukukan menjadi manual-manual sesuai dengan segmennya masing-masing. Faktor-faktor yang menjadi persyaratan suatu waralaba seperti yang tersebut diatas umum disebut dengan istilah franchisibility. Oleh karena standarisasi yang cukup tinggi, memberikan keuntungan bagi masyarakat yang ingin membeli waralaba. Banyak peluang bisnis (Business Opportunity – BO) yang mengklaim diri sebagai waralaba, padahal tidak memenuhi persyaratan-persyaratan untuk layak disebut waralaba.Risiko bisnis kegagalan waralaba jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsep bisnis lain seperti MLM (Multi Level Marketing), Distributor, Direct Sales Business (Penjualan Langsung), dan berbagai konsep bisnis lain. Risiko kegagalan pembeli waralaba adalah 5 % - 15 %, sedangkan pada bisnis biasa berada di angka lebih dari 65 %. Para pengusaha yang telah menjalankan mantap bisnisnya mendapat keuntungan dengan mengkonversi usahanya menjadi waralaba. Walaupun mendapat tambahan tuntutan untuk mempertinggi kualitas bisnis mereka, dampak yang didapat lebih dari sekedar setara dalam hal membangun image dan brand produk atau jasa mereka. Biaya pembelian atau penyewaan tempat usaha secara otomatis bukan lagi menjadi tanggung jawab franchisor. Sebagai contoh suatu toko roti yang sudah terkenal di daerah makasar akan memerlukan ratusan juta rupiah, bahkan pada kisaran milyaran jika si pemilik ingin membuka 10 cabang di berbagai kota di Indonesia. Sedangkan mungkin hanya butuh dana yang tidak besar, jika usaha tersebut telah siap diwaralabakan ke berbagai kota. Dalam hitungan bulan, berbagai outletnya telah dibangun dan citra produk makin dikenal masyarakat.Hal yang menarik dari isu waralaba nasional adalah bahwa pertumbuhan waralaba lokal saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan waralaba asing di Indonesia. Fakta ini disebabkan karena pewaralaba lokal memberikan berbagai kemudahan dalam persyaratan pembelian waralaba mereka. Toleransi yang diberikan juga cukup luas ditambah promosi dan marketing yang terus menerus dan up to date. Pihak media di Indonesia juga memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan waralaba lokal, berbagai media bisnis telah banyak mengangkat waralaba sebagai suatu segmen liputan khusus, bahkan sekarang telah terdapat majalah yang hanya khusus mengupas seluk beluk waralaba secara spesifik. Sarana promosi yang menunjang ini makin diperkuat oleh berbagai event pameran skala nasional, yang tidak hanya diselenggarakan di Jakarta, namun juga ke berbagai kota-kota di daerah. Puluhan ribu pengunjung yang datang merupakan representasi atensi masyarakat akan pengetahuan waralaba. Hal ini disebabkan oleh makin mudahnya rantai distribusi ke daerah dan potensi ekonomi mikro daerah yang menjanjikan. Keterkaitan industri perbankan juga makin memperkokoh konsep bisnis waralaba, dengan hadirnya program perkreditan khusus kemitraan, sebagai contoh Bank HS 1906 yang memberikan kredit investasi waralaba dan kredit modal kerja waralaba. Kerjasama developer-developer di bidang penyediaan tempat (retail space) waralaba mulai dirilik berbagai pemain properti, karena dianggap lebih mengguntungkan untuk penjualan tempat usaha (ruko, mal, trade center) jika diintegrasikan dengan waralaba.Kerjasama ini sangat menguntungkan, karena selain arah dan tujuan pemakaian tempat usaha sudah jelas untuk jenis waralaba tertentu, harga property yang didapat pun lebih murah dibandingkan jika mereka membeli secara terpisah. Sinergi yang massive dari berbagai pihak ini makin memantapkan eksistensi waralaba di Indonesia. Keberadaan waralaba bagi pemerintah sendiri sangat membantu terutama untuk membuka lapangan kerja baru secara instan dan memicu perekonomian daerah.Sebelum krisis moneter, pemain waralaba di Indonesia umumnya adalah waralaba asing. Tahun 1997, sekitar 64% waralaba asing yang menutup usahanya akibat dari fluktuasi nilai tukar rupiah. Setelah krisis moneter reda, mulai bermunculan berbagai waralaba lokal. Dari kurun waktu 1999 sampai 2000 pertumbuhan waralaba lokal sebesar 120 %. Proyeksi tren bisnis waralaba di Indonesia akan tetap menjanjikan selama baik franchisor maupun franchisee memegang teguh komitmen untuk terus menerus meningkatkan kualitas produk atau jasa yang mereka jual. Pemilik usaha yang ingin mewaralabakan usahanya untuk publik harus benar-benar membenahi sistem dulu sebelum berani menjual konsep bisnisnya ke publik. Setiap orang yang ingin berkecimpung di bidang waralaba harus benar-benar mengingat bahwa usaha ini adalah tipe usaha jangka panjang dan berkesinambungan. Dedikasi terhadap kualitas mutu harus benar-benar dijaga, SOP dan manual yang telah dibuat tidak hanya dipatuhi tapi juga terus menerus diperbaharui dan ditingkatkan.Selera masyarakat menjadi suatu penyaring yang terandalkan untuk memilih suatu usaha memang benar-benar layak disebut sebagai waralaba, bukan hanya sekedar peluang bisnis (business opportunity – BO). Walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak signifikan, namun terdapat beberapa kasus waralaba yang dapat dijadikan pelajaran dimasa yang akan datang. Kasus tersebut biasanya bersumber dari ketidakmampuan franchisor untuk memenuhi demmand suplai barang yang membludak (overloaded), sehingga distribusi stok sempat terhenti. Kasus lain yang juga sering terjadi adalah kurangnya pengawasan terhadap kualitas kontrol dan manajemen mutu franchisee, sehingga produk yang dibeli tidak sama antara satu tempat dengan tempat lain. Franchisee yang sukses umumnya adalah mereka yang memang benar-benar menaruh minat pada jenis usaha yang dibeli, jadi bukan hanya sekedar investasi belaka, namun juga memperhitungkan faktor motivasi.Memilih jenis franchise setara dengan memilih pasangan hidup. Hubungan antara franchisor dan franchise harus harmonis dan langgeng. Jika seseorang tidak pernah menyukai mengutak atik mobil, disarankan untuk tidak membeli franchise bengkel. Atau jika seseorang tidak senang merawat pakaian, jangan membeli franchise laundry. Jenis usaha waralaba yang ada di Indonesia sudah sangat beragam mulai dari bakery, cafĂ©, F & B, internet, apotik, agen properti, salon, retail, pendidikan, hobi, perhiasan, cargo bahkan sampai plumbing service pun sudah tersedia.Besarnya variasi usaha ini hendaknya memudahkan masyarakat untuk memilih yang benar-benar tepat untuk dirinya. Tidak sedikit pula jenis franchise lokal yang sudah benar-benar mantap menjaga kualitas dan membangun citra produknya sehingga mereka sudah mulai go international dengan mengikuti berbagai expo di mancanegara dan sudah membuka cabangnya di luar negeri. Prospek pasar masih luas dan menanti. Kita semua berharap suatu saat semua pihak waralaba di Indonesia, baik franchisor maupun franchisee sudah mempunyai profesionalisme dan etos kerja yang tinggi, yang melahirkan sistem yang benar-benar teruji, sehingga produk dan sumber daya manusia yang berkualitas dapat menjadi suatu epidemi di masyarakat Indonesia.
Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA. Waralaba adalah bisnis jangka panjang. Keuntungan yang diperoleh digunakan untuk investasi lagi agar merek semakin kuat, untuk riset, dan perbaikan manajemen.
Selama ini ada beberapa alasan yang salah dalam mengembangkan bisnis waralaba. Yakni, mendapat keuntungan dalam waktu cepat, mengatasi kekurangan modal, meraih untung dari franchisee (pembeli waralaba), ingin mendorong produk/jasa yang lemah, dan ingin memuaskan diri sendiri.
Agar niat mencari untung tidak berubah menjadi kerugian, perhatikan hal-hal berikut, sebelum menekuni bisnis ini.1. Menjaga mutu secara konsisten, penampilan bersih, rapi, menyenangkan, dan bergengsi.2. Memiliki konsep bisnis yang jelas, berpengalaman dalam mengatasi berbagai persoalan yang muncul, dan telah terbukti keberhasilannya.3. Bisnis mempunyai keunikan tersendiri sehingga tidak dimiliki pesaingnya.4. Keunggulan itu telah dibakukan secara tertulis, mulai dari pemilihan lokasi, perijinan, analisa bisnis seperti jam operasional, sistem manajemen dan sebagainya.5. Pemasaran, pelatihan dan pengawasan harus jelas agar mutu tetap terjaga. Itu sebagai bukti dukungan pemilik waralaba pada mitra usahanya.6. Dengan standar operasi yang ada, ilmu bisa diajarkan dan mudah dipelajari orang lain dengan baik dan benar.7. Potensi pasar yang besar.8. Keuntungan pasti diperoleh bila bisnis dijalankan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Keuntungan itu bukan sesaat, melainkan jangka panjang.9. Perjanjian bisnis yang jelas, setara antara pihak yang terlibat, saling menguntungkan, dan memiliki dasar hukum yang kuat.
Anang juga mengingatkan, waralaba adalah peluang usaha. Tapi, peluang usaha belum tentu waralaba. Peluang usaha berpotensi dikembangkan menjadi waralaba, namun belum cukup mapan. Pasalnya belum ada keunikan atau terbukti menguntungkan sehingga belum bisa disebut waralaba.

keunggulan

1. franchisee memiliki usaha dengan sistem yang sudah matang, pengalaman dan sudah terbukti di lapangan. Sehingga tingkat keberhasilan usaha bisa ditingkatkan dan tingkat kegagalan bisa ditekan.
franchisee tidak perlu memiliki keahlian dan pengalaman di bidang bisnis yang akan ditekuni.
franchisee memiliki usaha dengan tingkat keuntungan yang tinggi dan masa pengembalian investasi (ROI) yang relatif singkat.
Link Network bisnis yang tersebar di berbagai daerah.
Promosi perusahaan yang efektif, murah dan mudah, karena franchisor melakukan promosi secara bersama-sama.
Sistem operasi bisnis sudah terbentuk
Pelatihan sistematis dari pakar
Kekuatan kelompok dalam promosi dan advertensi
Menggunakan nama trademark, patent dan design dari perusahaan yang sudah ternama
Keuntungan yang sangat rasional
non inventory / sudah jadi bisnisnya
mudah dalam pelaksanaan
tingkat pengembalian infestasi yang tinggi
keuntungan bagi pemberi waralaba (Franchisor)Modal sepenuhnya berasal dari penerima waralaba, yang dipakai jugabuat menjalankan usaha tersebut. Pemberi waralaba menerima persentase dari penghasilan kotor, dantidak memiliki kaitan dengan keuntungan (profit) maupun kerugian (loss) si penerima waralaba. Penerima waralaba atau orang yang ditunjuk penerima waralaba terjun sendiri menangani operasional usahanya. Penerima waralaba membayar biaya pelatihan. Bagi pemberi waralaba, kegiatan pelatihan ini biasanya menjadi salah satu profit centermereka juga. Bagi pemberi waralaba, debt to equity ratio mereka menjadi posotif,karena tidak perlu mencari sumber pendanaan lagi (hutang)

keuntungan bagi pembeli waralaba(franchisee)Biaya tinggi untuk memulai usaha. Melakukan penetrasi pasar secara cepat dan murah Melakukan penguncian pasar, agar susah dimasuki oleh pemain lain. Mengurangi biaya untuk mengelola merek, karena merek adalah time consume to develop. Mengurangi resiko kegagalan. Produk atau jasa yang sudah terkenal Merek dagang yang sudah besar. Adanya bantuan pemasaran dan iklan Adanya pelatihan yang jelas Adanya bantuan teknis dari pemberi waralaba Adanya kemudahan melakukan pinjaman kepada pihak ketiga, bilawaralabanya sudah teruji di pasar

kelemahan

1. tingkat keberhasilan (success rate) waralaba lokal masih rendah yakni sebesar 48 persen
2. franchisor seringkali terlalu cepat menawarkan bisnisnya kepada konsumen tanpa terlebih dahulu memperkuat diri dengan sistem dan manajemen yang teruji.
3. untuk franchisor sangat dimungkinkan pesaing dimasa yang akan datang berasal dari mantan anggota franchise yang setelah mempelajari bisnis tersebut lalu membuka usaha sendiri.
4. tidak ada kreatifitas dalam mengembangkan bisnis karena tergantung kebijakan franchisor.
5. jika bisnis waralaba ini bangkrut, maka semua anggota franchising akan terkena imbasnya.
6. berbagi rahasia bisnis dengan para franchisee yang bisa saja menjadi boomerang dikemudian hari.

Tidak ada komentar: